Oleh Edwi Mardiyoko, S.S
Tahun 2012 muncul sebuah film yang cukup menarik bagi penikmat film di Indonesia, yaitu #republiktwitter yang dibintangi oleh Abimana Aryasatya dan Laura Basuki. Republik Twitter menceritakan betapa besarnya pengaruh media sosial dalam sebuah masyarakat, khususnya dalam bidang politik. Didalam film ini Sukmo Wiyogo yang diperankan oleh Abimana menjadi seorang broker media sosial (buzzer,-red) yang tugasnya memberitakan hal-hal yang baik seorang tokoh politik hingga tokoh tersebut menjadi trending topic di twitter. Namun demikian apa yang didapati dalam media sosial tersebut tidak sesuai dengan realitas di dunia nyata. Film ini menggambarkan bagaimana kehidupan di dunia maya dapat dibentuk dengan sangat menarik meskipun hal itu sangat kontras dengan apa yang ada di dunia nyata.
Gejolak media jejaring sosial sebagai sebuah media baru mampu menyihir masyarakat dunia. Apabila dulu masyarakat hanya mengenal media dalam dua bentuk, yaitu cetak (Koran, majalah, tabloid dll.) dan elektronik (televisi dan radio) kini masyarakat dihadirkan sebuah sajian baru media dalam bentuk media jejaring sosial. Perkembangan teknologi internet menghadirkan sebuah gagasan baru tentang sebuah pola interaksi sosial dalam masyarakat. Interaksi sosial dalam sebuah media sosial tidak menjadi hal yang bersifat privasi karena kini ruang sosial yang terdapat dalam media sosial menjadi ruang publik.
Sejak era digital dimulai, atau era dimana gadget bukan sebagai alat hiburan namun sebagai salah satu kebutuhan hidup, media sosial menempati peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Semakin maraknya orang-orang memiliki smarthphone menjadikan orang-orang sangat kritis terhadap segala hal. Sebagai contoh, sebelum adanya media sosial kritik terhadap tindakan maupun ucapan kita hanya berada pada komunitas disekitar kita, akan tetapi seiring adanya media sosial kritik itu menjadi ranah publik. Kritik tersebut juga dapat sampai ke ranah hukum. Kasus terakhir di ranah selebritas adalah kasus perseteruan Ahmad Dhani dan Farhat Abbas. Kasus ini bermula ketika itu pada tahun 2013 Farhat Abbas berkicau dalam akun pribadinya @farhatabbaslaw mengatakan “Ahmad Dhani adalah ayah yang bodoh dan tolol” menanggapi sikap Dhani dalam kasus kecelakan anaknya. Kasus ini bergulir sampai meja hijau dan Ahmad Dhani meminta ganti rugi milyaran rupiah atas dasar pencemaran nama baik.[1] Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kehadiran media sosial telah mengubah interaksi sosial masyarakat menjadi lebih luas dan terbuka hingga tipis perbedaan antara privasi dan public.
Hadirnya media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Kaskus, dll menjadi sangat menarik karena media jejaring sosial dipandang sebagai kekuatan baru yang cukup menjanjikan dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Bahkan dengan melalui media sosial sebuah kekuasaan bisa ditumbangkan. Sehingga sebuah pendapat yang mengatakan gerakan media sosial bisa menjadi gerakan sosial yang sangat diperhitungkan bisa dianggap benar. Peristiwa yang sangat menyita publik adalah peristiwa jatuhnya Presiden Tunisia, Zein El Abidine ben Ali yang sudah berkuasa selama 23 tahun karena gerakan dari pemuda Tunisia melalui media jejaring sosial facebook, twitter, dan media sosial lain, kemudian mereka menyebut ini sebagai “Revolusi Media Sosial.”[2] Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah apakah penggunaan media jejaring sosial yang kebanyakan penggunanya adalah kaum muda dapat berjalan lurus dengan partisipasi politik bagi kaum muda.
Media Sosial sebagai the Fifth Estate
Demokrasi menjadi pilihan sistem perpolitikan di Indonesia. Sistem yang meletakkan prinsip “rakyat berkuasa” menjadikan sarana pemerintahan bahwa rakyat yang memegang kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam rangka untuk mewakili kekuasaan rakyat tersebut serta membentuk pemerintahan yang demokratis yang berdasarkan Rule of Law (aturan hukum) maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
- Perlindungan konstitusionil, dalam artian menjaga hak-hak individu dan dapat dijamin
- Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
- Pemilihan umum yang bebas
- Kebebasan untuk menyatakan pendapat
- Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
- Pendidikan kewarganegaraan. [3]
Itulah syarat bagaimana pemerintahan yang bedasarkan hukum bisa menjadi pemerintahan demokratis. Lebih lanjut Prof. Miriam Budiharjo menjelaskan bagaimana menjaga nilai-nilai demokrasi perlu dibentuk lembaga agar nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan. Menurutnya harus terdapat lembaga-lembaga seperti (1) Pemerintahan yang bertanggung jawab, (2) Dewan yang mewakili kepentingan golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, (3) organisasi politik yang mencangkup satu atau lebih partai politik, (4) pers dan media masa yang bebas, (5) sistem peradilan yang bebas kepentingan.[4] Itulah kerangka distribusi kekuasan agar dapat menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Perkembangan masyarakat telah menuntun masyarakat demokratis ke level yang lebih tinggi. Hadirnya media jejaring sosial di era digital atau cyberspace telah membentuk pola komunikasi politik yang baru dalam kehidupan demokrasi. Media baru ini telah mempengaruhi psikologi sosial dari masyarakat. Dengan hadirnya media jejaring sosial telah menjadikan masyarakat mudah meluapkan kebebasan berekspresinya terhadap dinamika politik yang ada. Sehingga ada yang menyematkan bahwa media jejaring sosial adalah pilar kelima atau the Fifth Estate dari kehidupan berdemokrasi setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers. Stephen Coleman menyatakan “The future of on-line deliberation may well be as ‘fifth estate’, scrutinizing and engaging with national parliements and local council.”[5] Dalam artian dia menganggap bahwa media jejaring sosial dapat juga diasosiasikan sebagai perwakilan kekuasasan dari masyarakat layaknya seperti dewan perwakilan yang sudah ada.
Media jejaring sosial sebagai new media memposisikan untuk berkontribusi dalam pendidikan politik. Media jejaring sosial bertindak sebagai komplemen dari media konvensional untuk mendukung aktivitas penggalian dana, mengidentifikasi dan memotivasi warga negara aktif serta untuk komunikasi politik internal.[6] Esensi dalam hal pengfungsian sebagai salah satu pilar demokrasi, media jejaring sosial juga dapat menjadi alat komunikasi efektif dalam hal pendidikan politik.
Namun demikian tantangan terbesar adalah penggunaan media jejaring sosial yang hampir dikuasai oleh kalangan muda tidak diimbangi dengan arus informasi yang berkualitas yang ditawarkan oleh media jejaring sosial. Arus informasi yang cukup besar dan minim penyaringan dapat berdampak negatif karena kebebasan yang ditampilkan pada media jejaring sosial dikhawatirkan dapat menjadikan kaum muda bersikap apolitik. Hal ini bisa dipahami karena informasi yang sering ditampilkan dalam media jejaring sosial, khususnya dalam perihal politik sering menyajikan keburukan-keburukan, kesalahan-kesalahan, ataupun pertikaian atas nama nafsu politik. Apabila tidak terdapat pendidikan politik yang baik maka sedikit demi sedikit kalangan muda dapat dimungkinkan bersikap acuh terhadap politik dan hasilnya partisipasi pada acara-acara perpolitikan menjadi sedikit.
Budaya Politik dalam Media Jejaring Sosial
Setelah reformasi 1998, banyak dari kalangan pebisnis, warga negara dan professional media menginginkan kebebasan dalam media. Kebebasan ini diartikan sebagai kebebasan terhadap kontrol kepemilikan maupun terhadap isi media. Faktanya setelah keran kebebasan media dibuka jumlah media cetak dari 300 menjadi 1000, lalu stasiun radio dari 700 stasiun menjadi 1000.[7] Lalu kebebasan itu juga didukung dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 41/1999 tentang Pers pada masa pemerintahan Presiden B.J Habibie yang intinya menekankan bahwa tidak perlu lagi diperlukan izin penerbitan atau istilah lain terhadap izin ini.
Seiring perkembangan teknologi munculah internet yang menawarkan medium baru dalam bentuk New Media, misalnya media jejaring sosial untuk memperkuat esensi kebebasan dalam media. Penggunaan media jejaring sosial di Indonesia sangatlah tinggi, menurut We are Social, sebuah agensi marketing sosial, mengeluarkan sebuah laporan bulan Maret 2015 mengenai data jumlah pengguna website, mobile, dan media sosial di Indonesia. Hasilnya adalah >72,7 juta pengguna aktif internet, >74 juta pengguna aktif media sosial dimana 64 penggunanya mengakses media sosial menggunakan perangkat mobile, dan 308,2 juta pengguna handphone.[8] Angka ini menunjukkan tingginya animo masyarakat Indonesia dalam hal mengakses dunia digital.
Berdasarkan data-data tersebut seharusnya stakeholders (pengampu kebijakan) akan dimudahkan dalam melakukan pendidikan politik terhadap rakyat Indonesia. Permasalahan keterjangkauan antara pemerintah dan rakyat menjadi mudah karena sebagian besar penduduk Indonesia sudah melek teknologi. Diharapkan dengan hadirnya media digital, khususnya media jejaring sosial, bisa memberikan hasil yang baik dalam budaya politik (political culture) yang juga merupakan aspek yang penting dalam sistem politik. Budaya politik sendiri adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup umumnya.[9] Kegiatan politik dari seseorang misalnya tidak hanya ditentukan oleh tujuan-tujuan yang didambakannya, akan tetapi juga oleh aspirasi-aspirasi yang dimilikinya dan pandangannya mengenai situasi politik.
Apabila sudah terdapat budaya politik yang cair antara stakeholders dan rakyat maka pola komunikasi politik dapat berjalan lancar. Adanya input dari rakyat berupa kritik, saran, dan aspirasi kemudian diharapkan bisa menjadikan output yang baik berupa keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan dari stakeholders. Proses feedback (umpan balik) antara input dan output ini bisa menjadikan pola komunikasi antara pemimpin dan rakyat menjadi kuat. Kehadiran dari media jejaring sosial dapat menjadi jembatan dalam budaya politik. Kaum muda yang diidentikan dengan masyarakat apolitis menjadi tertarik untuk senantiasa berpartisipasi dan mewarnai kehidupan politik di Indonesia.
Simpulan
Media jejaring sosial telah mewabah di masyarakat Indonesia. Hampir seluruh masyarakat Indonesia memiliki telpon seluler yang selain menjadi alat komunikasi konvensional juga sebagai alat interaksi sosial dalam bentuk media jejaring sosial. Dan kebanyakan dari pengguna media jejaring sosial adalah kalangan anak muda. Potensi ini menjadikan media jejaring sosial sebagai pilar penting dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Media jejaring sosial yang juga disebut sebagai the Fifth Estate dalam demokrasi berfungsi penting dalam budaya politik, khususnya di Tanah Air.
Media jejaring sosial juga dapat menjadi pemicu gerakan perubahan sosial di masyarakat, seperti yang ditunjukan di Tunisia pada tahun 2011. Potensi besar dari media jejaring sosial ini bisa meningkatkan partisipasi politik dari kaum muda yang diidentikkan sebagai bagian masyarakat yang anti politik. Ditambah dengan kemasan media jejaring sosial yang fleksibel dan menghibur dapat meningkatkan kehidupan berpolitik kaum muda. Selain itu media jejaring sosial juga sangat efisien untuk menjadi sarana pendidikan politik terhadap masyarakat karena mengingat masalah keterjangkaun dari stakeholders selama ini.
Referensi
Budiharjo, Miriam. 1971. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.
Coleman, Stephen. 2001. The Transformation of Citizenship. hlm. 109-126, dalam Axford dan Huggin. New Media and Politics (ed.). London: Sage Publication.
Edward, Julian. 2015. Ahmad Dhani Minta Ganti Rugi Miliaran Rupiah kepada Farhat Abbas. Dalam Liputan 6 pada 1 September 2015: http://showbiz.liputan6.com/read/2307200/ahmad-dhani-minta-ganti-rugi-miliaran-rupiah-kepada-farhat-abbas.
Gazali, Efendi. 2004. Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol. 8, No. 1, Juli 2004.
Gusindra. Jumlah Pengguna Website, Mobile, dan Media Sosial di Indonesia [Maret 2015] pada tanggal 11 Agustus 2015: http://jarvis-store.com/artikel/jumlah-pengguna-website-mobile-dan-media-sosial-di-indonesia-maret-2015.
Pohle, Sven. 2013. Peran Jejaring Sosial Dalam Revolusi Tunisia. Pada tanggal 15 April 2013:http://www.dw.com/id/peran-jejaring-sosial-dalam-revolusi-tunisia/a-16744069.
Prajarto, Nunung. 2006. New Media dan Demokrasi: Menimbang Peluang. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol. 9, No. 3, Maret 2006.
[1] Julian Edward, “Ahmad Dhani Minta Ganti Rugi Miliaran Rupiah kepada Farhat Abbas,” dalam Liputan 6 pada 1 September 2015: http://showbiz.liputan6.com/read/2307200/ahmad-dhani-minta-ganti-rugi-miliaran-rupiah-kepada-farhat-abbas
[2] Sven Pohle, “Peran Jejaring Sosial Dalam Revolusi Tunisia” pada tanggal 15 April 2013: http://www.dw.com/id/peran-jejaring-sosial-dalam-revolusi-tunisia/a-16744069
[3][3] South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok February 15-19, 1965, “The Dynamic Aspect of Rule of Law in the Modern Age (Bangkok: International Commission of Jurist, 1965) h. 39-50 cit Miriam Budiharjo “Dasar-Dasar Ilmu Politik” (Jakarta: PT Gramedia, 1971) h. 60
[4] Ibid h. 63-64
[5] Stephen Coleman, “The Transformation of Citizenship” h. 121 dalam Axford dan Huggin “New Media and Politics” (ed.) (London: Sage Publication, 2001)
[6] Nunung Prajarto, “New Media dan Demokrasi: Menimbang Peluang” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol. 9, No. 3, Maret 2006
[7] Mangahas dalam Johansen dan Gomez, “Democratic Transition in Asia” (Singapore: Select Publishing Co. Ltd, 2001) cit Efendi Gazali, “Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi” h. 63, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol. 8, No. 1, Juli 2004.
[8] Gusindra, “Jumlah Pengguna Website, Mobile, dan Media Sosial di Indonesia [Maret 2015]” pada tanggal 11 Agustus 2015: http://jarvis-store.com/artikel/jumlah-pengguna-website-mobile-dan-media-sosial-di-indonesia-maret-2015.
[9] Op cit Miriam Budiharjo, h. 49