MEDIA JEJARING SOSIAL SEBAGAI PROMOSI BUDAYA POLITIK KAUM MUDA

Oleh Edwi Mardiyoko, S.S

Tahun 2012 muncul sebuah film yang cukup menarik bagi penikmat film di Indonesia, yaitu #republiktwitter yang dibintangi oleh Abimana Aryasatya dan Laura Basuki. Republik Twitter menceritakan betapa besarnya pengaruh media sosial dalam sebuah masyarakat, khususnya dalam bidang politik. Didalam film ini Sukmo Wiyogo yang diperankan oleh Abimana menjadi seorang broker media sosial (buzzer,-red) yang tugasnya memberitakan hal-hal yang baik seorang tokoh politik hingga tokoh tersebut menjadi trending topic di twitter. Namun demikian apa yang didapati dalam media sosial tersebut tidak sesuai dengan realitas di dunia nyata. Film ini menggambarkan bagaimana kehidupan di dunia maya dapat dibentuk dengan sangat menarik meskipun hal itu sangat kontras dengan apa yang ada di dunia nyata.

Gejolak media jejaring sosial sebagai sebuah media baru mampu menyihir masyarakat dunia. Apabila dulu masyarakat hanya mengenal media dalam dua bentuk, yaitu cetak (Koran, majalah, tabloid dll.) dan elektronik (televisi dan radio) kini masyarakat dihadirkan sebuah sajian baru media dalam bentuk media jejaring sosial. Perkembangan teknologi internet menghadirkan sebuah gagasan baru tentang sebuah pola interaksi sosial dalam masyarakat. Interaksi sosial dalam sebuah media sosial tidak menjadi hal yang bersifat privasi karena kini ruang sosial yang terdapat dalam media sosial menjadi ruang publik.

Sejak era digital dimulai, atau era dimana gadget bukan sebagai alat hiburan namun sebagai salah satu kebutuhan hidup, media sosial menempati peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Semakin maraknya orang-orang memiliki smarthphone menjadikan orang-orang sangat kritis terhadap segala hal. Sebagai contoh, sebelum adanya media sosial kritik terhadap tindakan maupun ucapan kita hanya berada pada komunitas disekitar kita, akan tetapi seiring adanya media sosial kritik itu menjadi ranah publik. Kritik tersebut juga dapat sampai ke ranah hukum. Kasus terakhir di ranah selebritas adalah kasus perseteruan Ahmad Dhani dan Farhat Abbas. Kasus ini bermula ketika itu pada tahun 2013 Farhat Abbas berkicau dalam akun pribadinya @farhatabbaslaw mengatakan “Ahmad Dhani adalah ayah yang bodoh dan tolol” menanggapi sikap Dhani dalam kasus kecelakan anaknya. Kasus ini bergulir sampai meja hijau dan Ahmad Dhani meminta ganti rugi milyaran rupiah atas dasar pencemaran nama baik.[1] Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kehadiran media sosial telah mengubah interaksi sosial masyarakat menjadi lebih luas dan terbuka hingga tipis perbedaan antara privasi dan public.

Hadirnya media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Kaskus, dll menjadi sangat menarik karena media jejaring sosial dipandang sebagai kekuatan baru yang cukup menjanjikan dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Bahkan dengan melalui media sosial sebuah kekuasaan bisa ditumbangkan. Sehingga sebuah pendapat yang mengatakan gerakan media sosial bisa menjadi gerakan sosial yang sangat diperhitungkan bisa dianggap benar. Peristiwa yang sangat menyita publik adalah peristiwa jatuhnya Presiden Tunisia, Zein El Abidine ben Ali yang sudah berkuasa selama 23 tahun karena gerakan dari pemuda Tunisia melalui media jejaring sosial facebook, twitter, dan media sosial lain, kemudian mereka menyebut ini sebagai “Revolusi Media Sosial.”[2] Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah apakah penggunaan media jejaring sosial yang kebanyakan penggunanya adalah kaum muda dapat berjalan lurus dengan partisipasi politik bagi kaum muda.

Media Sosial sebagai the Fifth Estate

Demokrasi menjadi pilihan sistem perpolitikan di Indonesia. Sistem yang meletakkan prinsip “rakyat berkuasa” menjadikan sarana pemerintahan bahwa rakyat yang memegang kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam rangka untuk mewakili kekuasaan rakyat tersebut serta membentuk pemerintahan yang demokratis yang berdasarkan Rule of Law (aturan hukum) maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Perlindungan konstitusionil, dalam artian menjaga hak-hak individu dan dapat dijamin
  • Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
  • Pemilihan umum yang bebas
  • Kebebasan untuk menyatakan pendapat
  • Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
  • Pendidikan kewarganegaraan. [3]

Itulah syarat bagaimana pemerintahan yang bedasarkan hukum bisa menjadi pemerintahan demokratis. Lebih lanjut Prof. Miriam Budiharjo menjelaskan bagaimana menjaga nilai-nilai demokrasi perlu dibentuk lembaga agar nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan. Menurutnya harus terdapat lembaga-lembaga seperti (1) Pemerintahan yang bertanggung jawab, (2) Dewan yang mewakili kepentingan golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, (3) organisasi politik yang mencangkup satu atau lebih partai politik, (4) pers dan media masa yang bebas, (5) sistem peradilan yang bebas kepentingan.[4] Itulah kerangka distribusi kekuasan agar dapat menciptakan pemerintahan yang demokratis.

Perkembangan masyarakat telah menuntun masyarakat demokratis ke level yang lebih tinggi. Hadirnya media jejaring sosial di era digital atau cyberspace telah membentuk pola komunikasi politik yang baru dalam kehidupan demokrasi. Media baru ini telah mempengaruhi psikologi sosial dari masyarakat. Dengan hadirnya media jejaring sosial telah menjadikan masyarakat mudah meluapkan kebebasan berekspresinya terhadap dinamika politik yang ada. Sehingga ada yang menyematkan bahwa media jejaring sosial adalah pilar kelima atau the Fifth Estate dari kehidupan berdemokrasi setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers. Stephen Coleman menyatakan “The future of on-line deliberation may well be as ‘fifth estate’, scrutinizing and engaging with national parliements and local council.”[5] Dalam artian dia menganggap bahwa media jejaring sosial dapat juga diasosiasikan sebagai perwakilan kekuasasan dari masyarakat layaknya seperti dewan perwakilan yang sudah ada.

Media jejaring sosial sebagai new media memposisikan untuk berkontribusi dalam pendidikan politik. Media jejaring sosial bertindak sebagai komplemen dari media konvensional untuk mendukung aktivitas penggalian dana, mengidentifikasi dan memotivasi warga negara aktif serta untuk komunikasi politik internal.[6] Esensi dalam hal pengfungsian sebagai salah satu pilar demokrasi, media jejaring sosial juga dapat menjadi alat komunikasi efektif dalam hal pendidikan politik.

Namun demikian tantangan terbesar adalah penggunaan media jejaring sosial yang hampir dikuasai oleh kalangan muda tidak diimbangi dengan arus informasi yang berkualitas yang ditawarkan oleh media jejaring sosial. Arus informasi yang cukup besar dan minim penyaringan dapat berdampak negatif karena kebebasan yang ditampilkan pada media jejaring sosial dikhawatirkan dapat menjadikan kaum muda bersikap apolitik. Hal ini bisa dipahami karena informasi yang sering ditampilkan dalam media jejaring sosial, khususnya dalam perihal politik sering menyajikan keburukan-keburukan, kesalahan-kesalahan, ataupun pertikaian atas nama nafsu politik. Apabila tidak terdapat pendidikan politik yang baik maka sedikit demi sedikit kalangan muda dapat dimungkinkan bersikap acuh terhadap politik dan hasilnya partisipasi pada acara-acara perpolitikan menjadi sedikit.

Budaya Politik dalam Media Jejaring Sosial

Setelah reformasi 1998, banyak dari kalangan pebisnis, warga negara dan professional media menginginkan kebebasan dalam media. Kebebasan ini diartikan sebagai kebebasan terhadap kontrol kepemilikan maupun terhadap isi media. Faktanya setelah keran kebebasan media dibuka jumlah media cetak dari 300 menjadi 1000, lalu stasiun radio dari 700 stasiun menjadi 1000.[7] Lalu kebebasan itu juga didukung dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 41/1999 tentang Pers pada masa pemerintahan Presiden B.J Habibie yang intinya menekankan bahwa tidak perlu lagi diperlukan izin penerbitan atau istilah lain terhadap izin ini.

Seiring perkembangan teknologi munculah internet yang menawarkan medium baru dalam bentuk New Media, misalnya media jejaring sosial untuk memperkuat esensi kebebasan dalam media. Penggunaan media jejaring sosial di Indonesia sangatlah tinggi, menurut We are Social, sebuah agensi marketing sosial, mengeluarkan sebuah laporan bulan Maret 2015 mengenai data jumlah pengguna website, mobile, dan media sosial di Indonesia. Hasilnya adalah >72,7 juta pengguna aktif internet, >74 juta pengguna aktif media sosial dimana 64 penggunanya mengakses media sosial menggunakan perangkat mobile, dan 308,2 juta pengguna handphone.[8] Angka ini menunjukkan tingginya animo masyarakat Indonesia dalam hal mengakses dunia digital.

Berdasarkan data-data tersebut seharusnya stakeholders (pengampu kebijakan) akan dimudahkan dalam melakukan pendidikan politik terhadap rakyat Indonesia. Permasalahan keterjangkauan antara pemerintah dan rakyat menjadi mudah karena sebagian besar penduduk Indonesia sudah melek teknologi. Diharapkan dengan hadirnya media digital, khususnya media jejaring sosial, bisa memberikan hasil yang baik dalam budaya politik (political culture) yang juga merupakan aspek yang penting dalam sistem politik. Budaya politik sendiri adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup umumnya.[9] Kegiatan politik dari seseorang misalnya tidak hanya ditentukan oleh tujuan-tujuan yang didambakannya, akan tetapi juga oleh aspirasi-aspirasi yang dimilikinya dan pandangannya mengenai situasi politik.

Apabila sudah terdapat budaya politik yang cair antara stakeholders dan rakyat maka pola komunikasi politik dapat berjalan lancar. Adanya input dari rakyat berupa kritik, saran, dan aspirasi kemudian diharapkan bisa menjadikan output yang baik berupa keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan dari stakeholders. Proses feedback (umpan balik) antara input dan output ini bisa menjadikan pola komunikasi antara pemimpin dan rakyat menjadi kuat. Kehadiran dari media jejaring sosial dapat menjadi jembatan dalam budaya politik. Kaum muda yang diidentikan dengan masyarakat apolitis menjadi tertarik untuk senantiasa berpartisipasi dan mewarnai kehidupan politik di Indonesia.

Simpulan

Media jejaring sosial telah mewabah di masyarakat Indonesia. Hampir seluruh masyarakat Indonesia memiliki telpon seluler yang selain menjadi alat komunikasi konvensional juga sebagai alat interaksi sosial dalam bentuk media jejaring sosial. Dan kebanyakan dari pengguna media jejaring sosial adalah kalangan anak muda. Potensi ini menjadikan media jejaring sosial sebagai pilar penting dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Media jejaring sosial yang juga disebut sebagai the Fifth Estate dalam demokrasi berfungsi penting dalam budaya politik, khususnya di Tanah Air.

Media jejaring sosial juga dapat menjadi pemicu gerakan perubahan sosial di masyarakat, seperti yang ditunjukan di Tunisia pada tahun 2011. Potensi besar dari media jejaring sosial ini bisa meningkatkan partisipasi politik dari kaum muda yang diidentikkan sebagai bagian masyarakat yang anti politik. Ditambah dengan kemasan media jejaring sosial yang fleksibel dan menghibur dapat meningkatkan kehidupan berpolitik kaum muda. Selain itu media jejaring sosial juga sangat efisien untuk menjadi sarana pendidikan politik terhadap masyarakat karena mengingat masalah keterjangkaun dari stakeholders selama ini.

Referensi

Budiharjo, Miriam. 1971. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.

Coleman, Stephen. 2001. The Transformation of Citizenship. hlm. 109-126, dalam Axford dan Huggin. New Media and Politics (ed.). London: Sage Publication.

Edward, Julian. 2015. Ahmad Dhani Minta Ganti Rugi Miliaran Rupiah kepada Farhat Abbas. Dalam Liputan 6 pada 1 September 2015: http://showbiz.liputan6.com/read/2307200/ahmad-dhani-minta-ganti-rugi-miliaran-rupiah-kepada-farhat-abbas.

Gazali, Efendi. 2004. Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol. 8, No. 1, Juli 2004.

Gusindra. Jumlah Pengguna Website, Mobile, dan Media Sosial di Indonesia [Maret 2015] pada tanggal 11 Agustus 2015: http://jarvis-store.com/artikel/jumlah-pengguna-website-mobile-dan-media-sosial-di-indonesia-maret-2015.

Pohle, Sven. 2013. Peran Jejaring Sosial Dalam Revolusi Tunisia. Pada tanggal 15 April 2013:http://www.dw.com/id/peran-jejaring-sosial-dalam-revolusi-tunisia/a-16744069.

Prajarto, Nunung. 2006. New Media dan Demokrasi: Menimbang Peluang. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol. 9, No. 3, Maret 2006.

[1] Julian Edward, “Ahmad Dhani Minta Ganti Rugi Miliaran Rupiah kepada Farhat Abbas,” dalam Liputan 6 pada 1 September 2015: http://showbiz.liputan6.com/read/2307200/ahmad-dhani-minta-ganti-rugi-miliaran-rupiah-kepada-farhat-abbas

[2] Sven Pohle, “Peran Jejaring Sosial Dalam Revolusi Tunisia” pada tanggal 15 April 2013: http://www.dw.com/id/peran-jejaring-sosial-dalam-revolusi-tunisia/a-16744069

[3][3] South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok February 15-19, 1965, “The Dynamic Aspect of Rule of Law in the Modern Age (Bangkok: International Commission of Jurist, 1965) h. 39-50 cit Miriam Budiharjo “Dasar-Dasar Ilmu Politik” (Jakarta: PT Gramedia, 1971) h. 60

[4] Ibid h. 63-64

[5] Stephen Coleman, “The Transformation of Citizenship” h. 121 dalam Axford dan Huggin “New Media and Politics” (ed.) (London: Sage Publication, 2001)

[6] Nunung Prajarto, “New Media dan Demokrasi: Menimbang Peluang” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol. 9, No. 3, Maret 2006

[7] Mangahas dalam Johansen dan Gomez, “Democratic Transition in Asia” (Singapore: Select Publishing Co. Ltd, 2001) cit Efendi Gazali, “Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi” h. 63, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol. 8, No. 1, Juli 2004.

[8] Gusindra, “Jumlah Pengguna Website, Mobile, dan Media Sosial di Indonesia [Maret 2015]” pada tanggal 11 Agustus 2015: http://jarvis-store.com/artikel/jumlah-pengguna-website-mobile-dan-media-sosial-di-indonesia-maret-2015.

[9] Op cit Miriam Budiharjo, h. 49

DILEMA ISLAMISASI DI ERA GLOBAL: MEMAHAMI GERAKAN ULAMA JAWA DALAM PENYEBARAN ISLAM

Edwi Mardiyoko, S.S [Pegiat Studi Wawasan Islam]

Mengapa Indonesia makin terpuruk???

Karena Islam hanya digunakan untuk mengurusi orang mati bukan orang hidup.

Pengantar

Ada hal yang unik ketika penulis memperoleh pesan singkat diatas. Pesan singkat diatas adalah salah satu bentuk ekspresi yang dapat menggambarkan kondisi umat Islam di Indonesia sekarang. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana ekspresi kegelisahan itu muncul ditengah-tengah Negara yang jumlah umat Islamnya terbesar di dunia. Dengan demikian berarti terdapat permasalahan yang mendasari kegelisahan tersebut muncul.

Permasalahan utama yang mendera umat Islam di Indonesia adalah proses pemaknaan Islam yang tidak utuh dalam diri umat Islam di Indonesia. Hal ini dimungkinkan apakah karena umat Islam merasa mayoritas sehingga menganggap remeh-temeh pemaknaan nilai-nilai Islam atau karena ada strategi penyesatan yang menyebabkan umat Islam tidak mafhum terhadap pemaknaan nilai-nilai Islam. Dua hal tersebut bisa jadi faktor yang menjadikan peradaban Islam yang diimpikan enggan terwujud.

Syekh Muhammad Naquib Al Attas menyebut proses pemaknaan Islam dalam suatu masyarakat menuju peradaban Islam sebagai Islamisasi. Menurutnya Islamisasi adalah pembebasan masyarakat dari tradisi kultural bersifat magis, mitologis, animistis dan etnis yang tidak sesuai dengan Islam. Selain itu juga dimaknai sebagai pembebasan pikiran dan bahasa manusia dari kontrol paham sekuler yang tidak sesuai dengan fitrahnya.[1] Namun demikian Islamisasi seperti yang diungkapkan oleh al Attas seperti diabaikan oleh umat Islam Indonesia, terlebih-lebih bagi mereka yang sejak lahir beragama Islam yang menganggap hal itu tidaklah penting. Persepsi ini mengakibatkan semakin besar jarak antara umat Islam dengan peradaban Islam yang diimpikan. Salah satu cara untuk mengikis jarak tersebut adalah dengan mempelajari sejarah Islamisasi di Indonesia.

Di Indonesia Islamisasi tidak akan terwujud apabila tidak terdapat ulama yang bergerak untuk mewujudkan Islamisasi tersebut. Peran ulama sangatlah besar selain mengajarkan nilai-nilai Islam, ulama juga berperan dalam merebut kemerdekaan. Ulama selain pemimpin spiritual adalah juga sebagai informal leader bagi masyarakat melawan penjajahan Kolonial Belanda. Oleh karena itu, makalah ini berusaha mengungkap bagaimana gerakan ulama, khususnya ulama Jawa dalam penyebaran Islam. Hal ini dimaksudkan agar supaya kita bisa meneladani cara-cara apa yang ditempuh para ulama.

Memaknai Nilai Ulama

Ulama dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dalam istilah ‘kyai’, biasanya dalam masyarakat menempati posisi yang terhormat karena ditempatkan sebagai contoh panutan yang baik dalam masyarakat. Ulama selalu dijadikan rujukan untuk konsultasi baik kehidupan dunia dan akhirat. Di Islam, Ulama memiliki arti sebagai Warosatul Anbiya’ atau pewaris para nabi. Dalam hadis sudah dijelaskan “sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi, para nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham (harta), tetapi para nabi mewariskan risalah (ilmu dan agama).” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi). Jadi bisa dimaknai bahwa ulama yang ideal adalah ulama yang senantiasa sebagai pewaris para nabi dimana dia selalu menyampaikan risalah yang diwariskan oleh nabi. Meskipun demikian, ulama bukanlah seorang nabi tetapi layaknya manusia biasa. Ulama tidak memiliki sifat makshum atau terpelihara dari dosa seperti yang dimiliki oleh rasul dan nabi. Bahkan ulama sering tergoda akan urusan duniawi misalnya materi dan ambisi. Hal ini apabila tidak dicermati akan dapat mempengaruhi para pengikutnya.

Hal yang pantas dan melekat dalam diri seorang ulama dalam upaya menyampaikan risalah nabi adalah senantiasa menegakkan Islam sebagai pedoman hidup di dunia dan akhirat. Seorang ulama adalah bukan seorang yang hanya dihormati tetapi seorang ulama adalah seorang pembebas masyarakat dari hal-hal yang menyesatkan. Ulama juga harus memiliki keberanian dalam menegakkan ajaran Islam, melindungi kaum yang tertindas, membebaskan kaum yang terkengkang baik dalam pemikiran maupun fisik, dan mengayomi umat atau masyarakat. Nilai tersebut adalah nilai penting yang harus dimiliki oleh ulama, karena ulama adalah jembatan antara ajaran nabi kepada umatnya yang sekarang.

Strategi Ulama Pada Awal Penyebaran Islam di Jawa

Di dalam upaya penyebaran agama Islam para ulama menerapkan strategi yang sangat berhasil sehingga Islam sekarang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Seperti halnya yang dicontohkan oleh para Wali, sebutan ulama besar di Jawa, telah memberikan gambaran strategi penyebaran Islam di Jawa. Wali di tanah Jawa membentuk institusi yang dikenal atau dengan sebutan Walisongo. Sebuah institusi yang menjadi sarana dari para wali dalam usaha penyebaran Islam di Jawa. Walisongo menggunakan metode akulturasi dalam dakwahnya, yaitu metode yang menggunakan lambing-lambang dan lembaga-lembaga budaya yang telah ada kemudian diisi dengan ajaran Islam sehingga mudah dicerna dan sampai pada masyarakat awam.[2]

Bentuk dari dakwah akulturasi itu adalah penggunaan terminologi atau istilah yang melekat dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang termaktub dalam lembaga atau budaya dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah sekaten (Syahadatain), yang lahir di desa Glagah Wangi Demak. Sekaten adalah gamelan yang gendingnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dengan nafas Islami, seperti Rabulngalamina, Salatun, Sholawatan dan sebagainya. Ini adalah salah satu bentuk dakwah melalui kesenian.[3]

Selain dakwah kesenian, Walisongo juga melakukan dakwan melalui makanan, yaitu menggunakan lambang ketan, kolak, dan apem yang dibagikan kepada masyarakat setiap bulan Ruwah (Sya’ban). Dari sudut pandang bahasa, ketan secara etimologis berasal dari Khotoah yang artinya adalah kelemahan atau kesalahan, kolak dari kata qola (mengucapkan), dan apem dari kata afuwun (afuwun). Dengan demikian makna dari ketan, kolak, dan apem adalah bila merasa bersalah cepat-cepatlah memohon ampun.[4] Hal ini sekarang telah menjadi budaya pada masyarakat Jawa pada bulan Sya’ban bahwa sebelum menghadapi bulan Puasa mengadakan kendurian atau kondangan yang sajiannya adalah termasuk makanan-makanan tersebut. Pada masyarakat Jawa sebelum menjalani ibadah Puasa selalu menjalani kegiatan seperti silaturahim kepada teman dan sanak saudara sambil bermaafan dan berziarah kubur.

Selain dakwah melalui lembaga budaya, selanjutnya para Wali juga menyebarkan Islam dengan cara mendirikan lembaga pendidikan yang disebut pondok. Pendidikan pondok adalah sistem satu kompleks terdiri atas masjid, keluarga kyai, tempat pendidikan, dan tempat tinggal santri.[5] Sistem pondok pesantren seperti ini dipelopori oleh Sunan Ampel di Surabaya. Dengan sistem ini santri dididik secara intensif mengenai ajaran Islam. Selanjutnya setelah selesai dari pondok, santri menjadi pendakwah bagi masyarakatnya. Selain itu karena pengaruh yang baik dari posisi pondok pesantren di masyarakat menjadikan ulama menjadi pemimpin kultural baik dalam pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya. Tak sedikit ulama yang memiliki pengaruh kuat dipersepsikan sebagai raja oleh masyarakatnya. Hal ini dikarenakan perkembangan pesat dari pondok pesantren itu telah seperti menjadi kerajaan kecil.

Contoh ulama yang dianggap menjadi raja adalah Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri karena luasnya pengaruh kepemimpinan dan kharisma yang kuat, dua pesantren itu menjadi panutan bagi pesantren-pesantren lain di tanah Jawa. Giri sebenarnya adalah daerah enklave[6] Muslim dari wilayah kerajaan Majapahit yang pada awalnya hanya sebuah pesantren kemudian menjadi kerajaan kecil. Giri dipimpin oleh seorang ulama yang termahsyur yaitu Raden Paku atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Giri. Beliau adalah ulama besar dan beliau adalah salah seorang yang diminta untuk membuat keputusan mengenai keberadaan Demak Bintoro dengan menyusun bentuk pemerintahan dan keagaamannya. Oleh karena itu, beliau mendapat otoritas sebagai Ahlul Halli wal Aqdi, yaitu memiliki hak untuk memutuskan dan mengikat agama Islam, kenegaraan, dan urusan kaum muslimin.[7] Dengan otoritas tersebut Sunan Giri memiliki kewenangan sebagai berikut:

  1. Mengesahkan dan memberi gelar sultan kepada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
  2. Menentukan garis besar politik pemerintahan.
  3. Ikut bertanggung jawab terhadap keamanan kaum muslimin dan kerajaan-kerajaan Islam.
  4. Mencabut kedudukan sultan bila yang bersangkutan menyimpang dari kebijakan para wali.

Dengan kewenangan ini kedudukan para Wali menempati posisi diatas kerajaan-kerajaan Islam. Oleh karena itu, para wali juga memiliki kontrol yang kuat terhadap keagamaan dan politik dalam kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Dengan kata lain posisi para Wali seperti Dewan Syuro bagi kerajaan-kerajaan Islam.

Dakwah Politik Walisongo

Ada pemikiran yang keliru mengenai Walisongo pada masyarakat awam bahwa Walisongo adalah para wali yang hidup dalam kerajaan Islam yang berjumlah hanya Sembilan orang. Pada dasarnya menurut catatan sejarah, Walisongo adalah sebuah institusi yang dibentuk oleh para ulama di tanah Jawa dan mereka tidak hidup dalam satu era. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa kedudukan dari Walisongo sangatlah tinggi pada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Mereka berwenang sebagai kontrol keagamaan dan kekuasaan.

Dalam melakukan dakwah politiknya, Walisongo menyandarkan pemahaman yang sekarang disebut sebagai “Islam Politik”, yang merujuk pada pencerminan ajaran Islam mengenai politik yang diilhami dari petunjuk Allah SWT. Islam politik sendiri adalah perjuangan Islam dibidang politik. Persepsi politik Islam ini bersifat ideologis, dimana pikiran manusia dipengaruhi oleh garis panduan politik yang bersifat “simbolik-ideologis Islam”.[8] Artinya dalam melakukan dakwah politik Walisongo menerapkan prinsip-prinsip dasar Islam, antara lain penerapan hukum Islam sebagai aturan dasar dari kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Ketika Islam belum menjadi dasar kerajaan di Nusantara kedudukan raja merupakan absolut dan raja adalah hokum namun ketika Islam datang konsepsi tersebut diubah dengan dasar dari hokum Islam yang diterapkan oleh Walisongo.

Dalam sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Walisongo pada sistem kesultanan seorang sultan bukanlah hukum, seorang sultan adalah pelaksana hukum dan ia tunduk pada hukum yaitu Syari’at Islam. Sejarah mencatat Kesultanan Demak Bintoro menerapkan hukum Syari’at Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Konstitusi tersebut adalah kitab Salokantara dan Jugul Mudayang yang disusun oleh Sunan Kudus dan dibantu oleh Sunan Ampel dan Sunan Giri. Kitab hukum tersebut mengatur perkara antara lain perdata, mua’malah, jinayat, siyasah, imamah, qishash, ta’zir, jihad, hudud, perburuhan, perbudakan, makanan, bid’ah, dll.[9] Jadi awalnya dengan membangun sebuah bentuk lembaga pendidikan yang kuat yang melahirkan santri-santri yang bisa membebaskan, Walisongo juga meletakkan tatanan perubahan pemerintahan di kerajaan Nusantara, yaitu dengan penerapan hukum Islam. Salah satu contoh warisan dari dakwah politik Walisongo selain sistem adalah adanya konsep denah dari alun-alun, keraton, masjid, dan tempat tinggal masyarakat.

Kesuksesan dari Walisongo dalam dakwah kultural dan politik adalah tidak lepas bagaimana pola regenerasi dari ulama Jawa itu sendiri. Ini bisa dipahami dengan menciptakan ulama-ulama maka kepentingan Walisongo untuk menegakkan ajaran Islam di tanah Jawa dapat terjaga. Disamping itu pola pendidikan di pondok pesantren yang dibangun oleh Walisongo, selain ingin mempertahankan tujuan dari penegakkan ajaran Islam juga sebagai penangkal ajaran-ajaran yang masih bersifat jahiliyah. Dakwah politik Walisongo juga dapat menjadi cerminan bagaimana ajaran Islam itu bisa masuk dalam hal yang bersifat politik.

Tipologi Ulama Jawa

Dalam perkembangannya ulama Jawa dapat dikategorikan menjadi 4 tipe ulama.[10]

Pertama, adalah golongan ulama yang merangkap sebagai kepala pemerintahan. Ulama yang termasuk dari golongan ini adalah Sunan Giri dengan keturunannya dan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Pemimpin agama itu memiliki reputasi yang tinggi dalam bidang keagamaan, politik kenegaraan, dan otoritas sebagai pentahbis para Sultan di Jawa sebelum era Mataram.

Kedua, adalah golongan ulama yang masih memiliki darah bangsawan. Hal ini dapat terjadi karena sering kali para bangsawan mengawinkan anaknya dengan anak keturunan dari para ulama atau dari sanak keluarga ulama. Contoh dari golongan ini adalah Ki Ageng Pandan Arang, Sayid Kalkum, dan Panembahan Rama atau Kyai Kajoran (masih merupakan keturunan Panembahan Senopati, raja Mataram pertama).

Ketiga, adalah golongan ulama sebagai alat birokrasi kerajaan/tradisional. Ulam birokrat bertugas pada upacara keagamaan keraton, pernikahan keluarga raja, urusan tempat ibadah, dan makam. Disamping itu ulama kelompok ini juga berperan sebagai pemberi fatwa tentang hukum-hukum agama. Ulama birokrat pada kerajaan Islam di Jawa sering disebut Abdi Dalem Pamethakan, Abdi Dalem Kaji, Abdi Dalem Suronoto, dan sebagainya. Lebih mudahnya ulama birokrat dikenal sebagai Penghulu Keraton.

Keempat, adalah golongan ulama pedesaan. Golongan ini adalah yang terbanyak diantara golongan yang lain. Ulama pedesaan tidak memiliki hubungan birokrasi dengan pemerintahan. Mereka murni sebagai pemimpin spiritual dan kultural bagi masyarakat disekitarnya masing-masing. Ulama pedesaan lebih dihormati sebagai elite religious dan tempat bertanya bagi santri dan masyarakat sekitar. Termasuk dalam tipe ini juga termasuk kaum ulama pengembara dan ulama yang menetap di daerah perdikan[11].

Namun demikian adanya tipologi tersebut bukan lantas berarti terdapat perbedaan dari para ulama. Dengan mendasarkan pada Warosatul Anbiya’ para ulama tetap teguh dan bersatu dalam urusan menegakkan ajaran Islam karena mereka menyadari bahwa dengan persatuan kepentingan dalam dakwah maka cita-cita peradaban Islam dapat terwujud.

Problematika Periode Sekarang

Masalah yang dihadapi oleh umat Islam dalam kaitannya dengan Islamisasi sangatlah kompleks. Masalah yang pertama terletak pada lunturnya identitas keislaman seorang muslim. Umat Islam sekarang sebagian besar menganggap tidaklah penting mempelajari sejarah Islam, hal ini berakibat hilangnya identitas yang dimiliki seorang muslim karena tidak mengetahui jati dirinya sebagai seorang muslim. Sesungguhnya dengan mempelajari tentang sejarah Islam selain dapat menumbuhkan semangat keislaman namun juga dapat mengambil sebuah pelajaran tentang identitas keislaman. Umat Islam lebih condong kepada sisi humanism dan menganggap ajaran semua agama adalah sama. Hal ini bisa dipahami karena penyesatan pemikiran terhadap umat Islam itu sudah berlangsung lama.

Munculnya orientalis telah meletakkan dasar kesesatan berfikir pada sebagian umat Islam. Istilah orientalisme baru muncul pada abad XIV, namun inti dari faham tersebut sebetulnya sudah cukup tua. Edward W Said mengatakan Orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman dari manusia Barat, yaitu Eropa.[12] Jadi orientalisme adalah cara pandang masyarakat Barat terhadap kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Timur. Hamid Zarkasyi juga menjelaskan sebenarnya ada dua motif dalam kajian para orientalis, yaitu motif agama dan motif politik.[13]

Motif agama muncul karena Barat yang satu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrin keagamaannya. Oleh karena itu para orientalis Kristen menganggap pemahaman Islam ini sangatlah berbahaya bagi eksistensi Kristen sehingga mereka membuat penyesatan pemikiran melalui serangkaian kajian yang belum jelas terbukti keilmiahannya. Para orientalis juga mengupas Islam dengan sudut pandat teori Barat dan juga cenderung membenturkan dengan teori Barat yang condong pada rasionalisme, empirisme, dan humanisme.

Motif politik lebih disebabkan karena Barat memandang Islam sebagai ancaman yang nyata. Sebagai sebuah peradaban yang baru dan cenderung kuat, Islam bergerak sangat cepat, dan sepertinya Barat sadar betul bahwa Islam bukan sekedar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan monumental, namun juga memiliki khazanah dan tradisi keilmuan yang tinggi.

Salah satu orientalis yang sangat memusuhi Islam yaitu Snouck Hurgronje. Dia menegaskan dalam ceramahnya di depan NIBA (Netherlands Indische Bestuurs Academie) Delft pada tahun 1911 bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai doktrin agama melainkan Islam sebagai doktrin politik.”[14] Dia memberikan penjelasan bahwa politik Islam, yaitu: (1) Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama hendaknya pemerintah bersifat netral; (2) Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan; (3) Tiada satu pun bentuk Pan Islam (Khilafah) boleh diterima oleh kekuasaan Eropa.

Hal tersebut berakibat munculnya nativisasi[15] dalam Islam dan secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut (1) Menyembunyikan peran Islam pada aspek-aspek yang bersifat politis. (2) Menonjolkan peran Islam pada aspek spiritual. Dua hal ini mengakibatkan peran Islam dalam masyarakat menjadi kerdil karena Islam dipersepsikan hanya bisa bersifat spiritual dan Islam tidak bisa ikut campur dalam urusan keduniaan. Upaya-upaya deislamisasi seperti ini mengakibatkan proses menuju peradaban Islam yang diidam-idamkan akan sulit terwujud. Dan anehnya umat Islam sekarang menerima hal tersebut. Ini bisa dilihat bahwa umat Islam apabila ingin menyelesaikan suatu permasalahan lebih mengambil sudut pandang dari teori-teori yang berkembang di masyarakat Barat daripada menggunakan sudut pandang Islam. Dewasa ini para orientalis lebih gencar dalam melakukan penyesatan pemikiran dalam diri umat Islam bahkan mereka juga menggunakan umat Islam itu sendiri untuk menyesatkan umat Islam yang lain. Hendaknya kita sebagai umat Islam harus mewaspadai fenomena ini dan menjadikan ini sebagai masalah pokok. Seperti diketahui paham SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme) sudah masuk dalam diri sebagian umat Islam. Paham-paham ini sangatlah berbahaya karena dapat merusak keimanan seorang muslim. Dan karena ini telah menjadi perang pemikiran, umat Islam harus siap menghadapi dan melawan dengan pemikiran juga. Salah satu strateginya dapat diadopsi dengan jalah dakwah yang ditempuh oleh ulama-ulama di tanah Jawa.

Simpulan

Ulama berasal dari bahasa Arab dan kata jamak dari “Alim”, yang artinya adalah orang berilmu atau ilmuwan. Namun dalam masyarakat Jawa kata ulama memiliki arti yang sangat luas. Ulama adalah ahli agama Islam, pemimpin keagamaan, pemimpin kultural melawan Kolonialisme Belanda. Kehadiran ulama sangatlah penting karena selain pengetahuan terhadap ajaran Islam, ulama adalah pemimpin gerakan sosial.

Strategi ulama, khususnya Walisongo, dalam hal Islamisasi patutlah dapat ditiru. Dua jenis dakwah yang mereka lakukan, yaitu dakwah kultural dan dakwah politik bisa menjadi alat untuk menegakkan ajaran Islam. Disamping itu strategi yang mereka lakukan sangatlah sistematis, yaitu pertama mereka membangun sebuah akademi pemikiran dalam bentuk pondok pesantren. Setelah itu kuat mereka menghimpun kekuataan untuk melawan penjajahan. Para Walisongo juga menancapkan pengaruh yang kuat dalam hal politik. Mereka menjadi kontrol utama terhadap pemerintahan kala itu. Dengan ada di kekuasaan, para Walisongo dapat menerapkan ajaran Islam pada masyarakat.

Namun demikian hal yang patut diwaspadai adalah gerakan deislamisasi yang dilakukan oleh orientalis-orientalis yang memusuhi Islam. Secara tidak sadar dengan berdalih pada sisi humanisme, para orientalis secara tidak langsung telah meracuni jalan berfikir umat Islam. Secara terstruktur dengan teori-teori yang mereka keluarkan telah mempengaruhi jalan berfikir umat Islam. Oleh sebab itu umat Islam harus menyadari hal ini dan segera bergerak karena umat Islam telah masuk dalam perang pemikiran.

***Disampaikan dalam Diskusi Terbatas Studi Wawasan Islam dengan tema “Dilema Islamisasi di Era Global” Jumat 29 Mei 2015

Referensi:

Darban, Ahmad A. 2004. Ulama Jawa Dalam Perspentif Sejarah. Jurnal UGM, Humaniora Volume 16, No. 1, Pebruari 2004, hlm 27-34

Nasiwan dan Purwo Santoso. 2002. Pola Perubahan Hubungan Islam dan Negara: Suatu Studi tentang “Islam Politik” di Indonesia (1990-1999). Jurnal UGM, Sosiohumanika Volume 15, No. 1, Januari 2002, hlm 93-114

Wibowo, Arif. 2012. Islamisasi dan DeIslamisasi Kebudayaan Jawa. Jurnal Islamia, Volume VII, No. 2, 2012, hlm 27-40

Jurnal-jurnal:

Jurnal Islamia, Volume V, No. 2, tahun 2009

Jurnal Islamia, Volume VII, No. 2, tahun 2012

[1] Jurnal Islamia, Volume VII, No. 2, 2012 hlm 4

[2] Wiji Saksana, Mengislamkan Tanah Jawa (Jakarta: Mizan, 1996) cit. Ahmad A. Darban, Ulama Jawa Dalam Perspentif Sejarah, Jurnal UGM, Humaniora Volume 16, No. 1, Pebruari 2004: 27-34

[3] Ibid, hlm 27

[4] Ibid

[5] Ibid, hlm 28

[6] Enklave adalah suatu daerah yang memiliki budaya tersendiri ditengah-tengah budaya lain, sebagai contoh adalah daerah Pecinan. Biasanya daerah ini memiliki budaya dan tata aturan tersendiri.

[7] Op. Cit Ahmad A. Darban

[8] Nasiwan dan Purwo Santoso, Pola Perubahan Hubungan Islam dan Negara: Suatu Studi tentang “Islam Politik” di Indonesia (1990-1999), Jurnal UGM, Sosiohumanika Volume 15, No. 1, Januari 2002

[9] Jurnal Islamia, Volume V, No. 2, 2009 hlm 79

[10] Op. Cit, Ahmad A. Darban hlm 31

[11] Perdikan adalah daerah atau wilayah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak atau upeti kepada pemerintah pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda. Perdikan juga diartikan sebagai daerah tujuan para alumnus pondok pesantren untuk mengabdikan keilmuan mereka.

[12] Edward W Said. Orientalisme. terj. (Bandung: Pustaka Bandung, 2001) hlm 1-2 cit Arif Wibowo. Islamisasi dan DeIslamisasi Kebudayaan Jawa. Jurnal Islamia, Volume VII, No. 2, 2012, hlm 36

[13] Ibid

[14]Op. Cit, Jurnal Islamia, Volume V, No. 2, 2009 hlm 77

[15] Nativisasi adalah proses menyembunyikan atau menkerdilkan pengaruh budaya atau paham.

Yuk cermati kisah Musa

Ingatkah

 

Masih ingatkah kau Kamalia

Manakala Bani Israil berkhianat pada Musa

Seruan Esa hanya kan menjadi fana

Lantas Dia menggerakan mereka ke bukit Tursina tuk menerima duka yang tiada terkira

Ketika mereka mempertanyakan keberadaanNya secara nyata bagai benda

Sekilat petir mengambil nyawa mereka seketika

 

Masih ingatkah kau Kamalia

Kalau Bani Israil adalah bangsa yang bebal dan senantiasa membuat sebal

Takkala seorang Harun yang lihai berdiplomatik dan mengotak atik retorik

Hingga dibuat tak berkutik karena intrik yang licik

 

Masih ingatkah kau Kamalia

40 hari mereka diminta bersabar menunggu kabar

Namun jelaga kegelapan telah membutakan mata hati mereka

Hingga pengingkaran telah merasuki seluruh jengkal mereka

Manakala Sang Maha Kuasa ditandingkan dengan sebuah patung Sapi Betina

 

Alangkah sangat buruk ya Kamalia melihat sikap mereka

Iman bagaikan permainan

Kepercayaan diselimuti pengkhianatan

Bisikan setan menjadi sebuah panutan

 

Waspadalah Kamalia

Memang kisah mereka terdengar bagai mitos lama

Namun ku berfikir kisah itu kan terulang di dunia kita dan setelah kita

Hanya kunci iman menjadi jawaban keselamatan

Demikianlah Tuhan menyatakan kepada insan

 

 

Edwi Yoko

23 Januari 2014

Tantangan Islam di Era Globalisasi, Informasi, dan Teknologi*

Pendahuluan

Perkembangan manusia di abad 21 sungguh luar biasa pesat. Berbagai macam penemuan yang telah dilakukan oleh masyarakat dunia, mulai dari penemuan budaya, teknologi bahkan perkembangan faham maupun ideologi. Hal ini menjadi sebuah keniscayaan karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang tidak pernah bisa berhenti untuk berkarya. Manusia bisa melakukan hal itu karena manusia diberikan akal sebagai alat untuk memanifestasikan itu semua.

Salah satu hal yang melekat pada diri manusia adalah kebutuhannya akan keberadaan dari suatu Dzat yang Maha Agung, yang pada intinya adalah untuk mendapatkan kedamaian pada diri manusia itu sendiri. Sehingga muncullah agama yang menjawab segala keraguan dan kebimbangan dari manusia itu dari arti sebuah kedamaian. Islam yang secara harfiah berarti ‘keselamatan’ atau ‘kedamaian’ adalah jawaban yang sempurna untuk keraguan dan kebimbangan manusia. Namun demikian seiring perkembangan zaman tantangan umat Islam sungguh berat dalam menghadapi era yang bisa dikatakan era persimpangan, dimana umat Islam seperti dihadapkan pada jalan raya yang besar, yaitu era globalisasi, informasi, dan teknologi. Sehingga memunculkan pertanyaan dalam benak kita semua, apakah umat Islam siap atau tidak untuk menghadapi kerasnya era globalisasi, informasi, dan teknologi ini?

Tantangan Era Globalisasi

Konsep globalisasi pada intinya memiliki arti yaitu hilangnya batas-batas antara budaya, bangsa, maupun negara atau dapat diartikan sebagai borderless. Ada tiga pendekatan yang sangat intensif membahas mengenai globalisasi, yaitu teori kebudayaan, teori ekonomi, dan teori politik. Dari sudut pandang kebudayaan, Antony Giddens dalam bukunya yang berjudul The Consequence of Modernity mendefinisikan globalisasi sebagai berikut: “Globalisasi adalah intensifikasi relasi-relasi sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga apa-apa yang terjadi di suatu lokal tertentu dibentuk oleh kejadian-kejadian yang terjadi bermil-mil jauhnya dan sebaliknya” (Giddens, 1994). Sehingga proses globalisasi itu merupakam buah hasil dari hubungan sosial dari masyarakat dunia yang menghasilkan lemahnya koherensi kultural dari suatu masyarakat. Ini memberikan pengaruh makin mudahnya perpindahan orang, barang, maupun budaya. Dalam keberjalanan prosesnya globalisasi merupakan proses lokalitas budaya kepada budaya lainnya, artinya bahwa proses agitasi budaya sangat terlihat jelas pada proses globalisasi. Argumen lain berpendapat bahwa proses globalisasi adalah proses imperialisasi budaya kepada budaya orang lain. Berpijak pada pendapat Antonio Gramsci, dengan teorinya yang sangat terkenal, teori hegemony, bahwa globalsasi merupakan proses kulturalisasi dari budaya superior kepada budaya inferior. Produk dari kulturalisasi ini adalah Pop Culture (budaya populer), suatu budaya yang lahir atas dasar modernisme dan sangat disenangi oleh seluruh masyarakat dunia. Budaya populer memiliki karakteristik imitatif, instan, dan dapat diproduksi secara masal. Dengan karakteristik tersebut menjadikan budaya populer mendunia. Lalu bagaimana umat Islam menghadapi tantangan era ini?

Secara langsung maupun tidak langsung globalisasi memberikan stigmatisasi dalam budaya Islam, sehingga menimbulkan stereotipe dalam Islam dan kini kita mengenal Islam Modern dan Islam Tradisional lalu Islam Moderat dan Islam Fundamental. Konsekuensinya adalah timbulah perpecahan dalam tubuh umat Islam dalam menghadapi era globalisasi ini, hingga memunculkan dua kutub yaitu, pro-globalisasi dan anti-globalisasi. Namun demikian, umat Islam seharusnya tidak terpecah karena globalisasi merupakan proses yang pasti harus dihadapi oleh umat Islam. Globalisasi yang memiliki pengertian arus orang-orang, barang-barang dan jasa, informasi dan gagasan yang melewati batas-batas negara, bangsa, dan kebudayaan lokal, nasional, atau regional (Azyumardi Azra, 2002), akan menjadi suatu keniscayaan bagi umat Islam. Oleh karena itu untuk menjadi suatu hal yang wajib untuk umat Islam untuk senantiasa produktif. Pengembangan budaya Islam yang seharusnya bersumber pada Al Qur’an harus menjadi metode wajib bagi umat Islam dalam menghadapi globalisasi. Islam pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu banyak filsuf, ilmuwan, maupun praktisi yang hadir mewarnai peradaban masyarakat dunia. Masyarakat pada waktu itu senantiasa konsisten untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui naqli dan kemudian dikembangkan melalui aqli. Artinya masyarakat pada waktu itu konsisten untuk melandaskan Al Qur’an dan Hadis sebagai landasan dasar dalam pengembangan budaya. Sebagai contoh produk budaya itu adalah sabun, ini merupakan produk yang dikembangkan dari aspek filosofis yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadis yaitu thaharah, bersuci. Pada akhirnya sabun merupakan produk budaya Islam yang sekarang digunakan oleh seluruh masyarakat dunia.

Terhadap budaya populer umat Islam seharusnya tidak perlu takut ataupun was-was akan budaya tersebut. Memang secara pengaruh keberadaan budaya populer memiliki dampak yang sangat signifikan bagi aqidah maupun syariah dalam Islam. Dengan senantiasa penekanan pada aspek nilai-nilai keislaman pengaruh budaya populer yang buruk seharusnya dapat ditangkal. Umat Islam seharusnya juga dapat memanfaatkan budaya populer sebagai alat untuk mendakwahkan nilai-nilai Islam dan bukan justru menolak mentah-mentah budaya populer, karena diterima atau tidak bahwa budaya populer adalah bentuk budaya yang sangat diterima oleh masyarakat dunia. Bagaimana menjadikan relasi antara budaya populer dan budaya Islam menjadikan PR besar bagi umat Islam untuk menghubungkannya menjadi suatu hal yang berujung positif. Sehingga memberikan pemahaman bagi masyarakat Islam bahwa globalisasi bukan merupakan mimpi buruk bagi umat Islam. (bersambung dulu ya gan…)

 

 

Didiskusikan dalam diskusi rutin bidang PTK HMI Cab. Surakarta Komisariat Muh. Iqbal pada Kamis, 11 Oktober 2012 Pemateri: Ekanada Shofa, S.Sos., M.Si (Peneliti/Dosen FISIP UNS/Ketua Umum HMI Cab. Surakarta Periode 2008-2010)

Lovebird Breeding

Kicau mania pasti tak asing dengan salah jenis burung ini, ya burung ini bernama Lovebird   (Burung Cinta). Akhir-akhir ini, burung yang termasuk agapornis yang memiliki sifat monogami ini menjadi primadona tersendiri bagi penghobi burung. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingkat animo masyarakat yang menggemari burung ini semakin hari semakin bertambah.

Harga burung ini bisa dikatakan fantastis apabila dibandingkan dengan ukuran tubuhnya. Untuk sepasang lovebird dewasa harganya bisa mencapai jutaan, bahkan sepasang lovebird yang memiliki kualitas yang bagus dapat menembus angka puluhan juta rupiah.

Lovebird termasuk jenis burung yang mudah untuk breeding (diternakan), lovebird sendiri sangat mudah untuk diternakan apabila dibandingkan dengan burung kenari, perkutut, atau beo. Hanya dengan kandang ukuran 50 cm x  50 cm x 50 cm, anda dapat menangkarkan burung ini. Sebagai pakan, burung ini tidak termasuk neko-neko alias mintanya pakan yang mahal dengan biji-bijian saja sudah cukup. Namun demikia burung ini termasuk burung yang cinta kebersihan. Jadi jangan sampai lupa untuk membersihkan kandang dan mengganti minum setiap hari

Karena keunggulan inilah sejak 10 tahun yang lalu burung ini masih menjadi primadona  di kalangan kicau mania. Oleh karena itu tidak salah untuk menekuni bisnis ini.

 

 

 

Sajak Inilah Aku Demonstran

Inilah aku demonstran

Yang tak sabar ungkapkan suara nurani

Suara yang berasal dari ironi ketidakpercayaan

Dan janji-janji yang telah terkhianati

Inilah aku demonstran

Yang mencoba mendobrak tirani liberalisasi

Tirani yang berasal dari rembugan para setan

Setan pencipta swantanisasi dan deregulasi

Inilah aku demonstran

Langkah kita mengabdi kadang dicaci dan kadang dicintai
Kala provokasi merasuki diri nafsu anarki kadang membersamai

Hingga aku tak tahu yang mana utara dan yang mana selatan

Inilah aku demonstran

Langkah dan jengkalku adalah murni untuk aspirasi

Aku awali ini dari diskusi, lobi, hingga aksi

Namun jangan salahkan aku kalau pertiwi meminta revolusi

Sajak ditulis oleh Edwi Mardiyoko

BACKPACKER (Suatu Hobi Yang Menyenangkan)

Salam Ngirit....ngirit duit, ngirit tenaga

Backpacker adalah salah satu hobi yang aku geluti. Terhitung sudah banyak daerah yang aku kunjungi melalui perjalanan backpacker. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Pantura, Surabaya, Malang, Bukittinggi, dan Bali. Memang duit tipis, nyali harus besar adalah suatu moto untuk backpacker sejati.

The most valuable experience ketika menjadi guide bagi turis-turis asing. Asyik dapat bayaran yang lumayan sih. Pengalaman yang paling sulit nge-guide orang Perancis soalnya pada kagak paham bahasa Inggris, jadi repot. Yang bisa Cuma Mercy Boku

Selain itu perjalanan tak terlupakan, naik truk dan nebeng mobil. Sambil merasakan curhatan sopir truk yang haus akan kasih sayang (‘_______’). Makanya ngegambarin truknya gambar-gambar cewek idaman g2.

Target selanjutnya aku kepengin backpackeran ke pulau Karimun. Doakan ya….

Salam Ngirit, Salam Backpacker

ANALYSIS OF ADVERTISEMENT

Stereotype of Men and Women in the Tipalet Advertisement

  1. A.    INTRODUCTION

Advertisement is today’s mass social with powerful influence on social life, consumer behaviour, and shaping the people belief toward the product. In the broadest sense, advertisement is the effective media to improve the selling of product. It has the purpose that it is part of marketing system of the company. Meanwhile the construction of advertisement develops from time to time.

Previously advertisement is only used as the media of marketing system. Then it changes from the origin concept because the development of advertisement does not only promote the product but also to spread the ideology of the producer and shape the consumer behaviour. The ideology that could be seen in the advertisement is the marketing gender. There is stereotype between man and women in the advertisement. Despite some changes the media portrayal of women and men in the last decade, representation of gender remain limited to the stereotyped representation (Luke, 1990). The stereotype of men and women causes the position of women being subordinate. It could be seen in the advertisement of cigarette products in United States clearly.

One of the cigarette’s advertisements which show the stereotype of gender is Tipalet. In the one of advertisement, Tipalet shows the stereotype between men and women. This is the prominent reason that makes the writer analyses the advertisement and writes an essay about this advertisement. The analysis will use gender perspective and semiotic approach as the way to analyse the advertisement.

  1. B.     DISCUSSION

The Tipalet’s advertisement (picture in the first page) was made and published during 1970s-1980s. Tipalet itself was the famous cigarette product at the time. In the advertisement, we can see there is picture of handsome man and beautiful woman. The man smokes Tipalet and blows to her face. Then, the advertisement needs semiotic approach and gender perspective as the way of analysing.

  1. a.      Semiotic Analysis

First of all we should identify what else points in the advertisement before we start the analysis. The advertisement shows us the picture of handsome man and beautiful woman. The woman wears sexy white T-shirt and the man wears black coat and both of them looking each other. The man smokes Tiparet and blows to the woman’s face. The background of the picture is the gradation colour between yellow and orange. Then there is sentence “Blow in her face and she’ll follow you anywhere.” The other is the product of Tipalet with several types. After we identify the advertisement, we could analyse it using semiotic approach.

Semiotic was the study of sign or the social production of sign (Branston and Stafford, 2003, p. 10). Semiotic was arisen by a French linguist named Roland Barthes. Semiotic concerns on the analysis of sign in the media and according to Barthes the sign could be recognize by connotatively or denotatively and it is related with myth which is developed in the society. In the Tipalet’s advertisement, we could see that there are many signs in there.

Starting from the picture, there are two figures, a handsome man and a beautiful woman and both of them is looking each other. There is gaze sight on the woman’s sight. And the man looks to the woman with the sight to bow the woman. From this identification, we can see there is separation between man and woman. Connotatively, man is recognized with a powerful influence and the woman is powerless. Thus, it shapes the inferior and superior condition of man and woman. The next point is the background of the advertisement. It uses the gradation colour of yellow and orange. In the denotative meaning, it shows a sunset condition. Meanwhile, in the denotative meaning, it shows a romantic condition because people know that sunset is the best romantic moment. The next is the condition when the man blows the cigarette’s smoke to the woman’s face. It symbolizes a power of man and he could defeat the woman easily with one blow the woman is defeated. This kind of sign is recognized as the hegemony of man toward the woman is very strong. The last point is the text in the picture “Blow in her face and she’ll follow you anywhere.”  Denotatively, one blow of cigarette smoke could make the woman follow the man. It seems like hypnotise. Otherwise, connotatively the text is defined as subordination of man to the woman. And woman couldn’t defeat the man because with the easy way, she can be defeated. Then, man in here is signed as the capital owner and with capital (through cigarette) he can conquer woman and world. And the text is the best persuasion to gain profit because it combines the myth in the society with business way. Those all the analysis of advertisement uses semiotic approach.

  1. b.      Gender Analysis

In the gender perspective, the Tipalet’s advertisement symbolizes the stereotype between men and women. Men are emphasized as dominant, powerful, superior, and decision maker. On the other hand, women are emphasized as domestic, powerless, inferior, and follower of men. This myth causes the producer constructs the advertisement like that. In this context, women, in the view of men, don’t have a value. They should follow the men whether the men is false because the nature of women have to follow the men. The main points that producer wants to share among the reader is the ideology of stereotype between men and women and the producer recognizes that through advertisement the producer could shape the people mind set. To summarize, the influence of men and women in the Tipalet’s advertisement is to share the gender ideology of stereotype and to spread the capitalism toward the society because advertisement is the best media to construct the consumer behaviour.

  1. C.    CONCLUSION

In conclusion, advertisement is the media of society that has purpose doesn’t only promote the product but also as the media of producer to share and to spread the ideology. The first ideology is construction the consumer behaviour and it is the mission of capitalism. The next is the media to spread certain ideology and in this case is the stereotype between men and women. The representation of Tipalet’s advertisement shows us the stereotype in there and the way of producer to share their ideology is implicit. Finally, the myth, belief, and the common issue in the society become the prominent ingredients of advertisement because advertisement is the media to spread and share the ideology now.

  1. D.    REFERENCES

 

Branston, Gill & Stafford, Roy. 2003. The Media Sudent’s Book. Third Ed. Routledge,  London. pp. 9-23

Luke, Carmen. 1996. Reading Gender and Culture in Media Discourse and Text. Chapter in G. Bull & M. Anstey (Eds.). The Literacy lexicon

INSIDE OF WEST IMPERIALISM

OIL, BUSH’S DOCTRINE, AND AMERICANIZATION OF IRAQ

 

A. INTRODUCTION

“War Makes More Evil People Than It Kills – Immanuel Kant”

 

There is no peace in the world. This statement perhaps is true or not regarding the situation where and when it happens. During the World War I, World War II, and Cold War the power of the world is divided into two. First, World War I made the separation of world into Allied and Central power. World War II separated the world into the power of fascism against the power of Allied. Finally, the Cold War separated the world into Socialist-Communist or Liberal. All of those war has happened because the impact of foreign policy each countries. Hence, United Sates took big role into all of war because of many controversial foreign policies which is thrown by U.S administration.

Many people believe that after the end Cold War and the death of Soviet Union, there would be peace around the world. Prosperity and peace became the guarantee of post-cold war. We could say that United States became the lone ranger around the world because people believed that United States won in the Cold War after the death of Soviet Union. Post-Cold War makes United States as the central power and the superpower. It can be shown a decade later when United States transform as only superpower country. The great influence of United States throughout the world could be seen the political side, economic side, even cultural side. Everyday we can find the product of United States. Then, TV shows are constructed of American media. This phenomenon is called globalization but for some people said that globalization is Americanization.

From the spirit of Puritanism which is brought by John Winthrop “City upon a Hill” would bear the spirit of imperialism. John Winthrop said that this country (United States) would shine the world and leading the world from darkness into light. This concept becomes the embryo of American Unilateralism. It means that United States dreams the one government of the world and United States becomes the leader of its. Sometimes it feels like imperialism by the West throughout the world. All of those reasons are only to aim that United States is lone great nation now.

This paper will show about measuring foreign political power of United States through International Relation. Then, it would talk more about American Foreign Policy as the part of Imperialism of the world. Actually, we know that every policy which is thrown by United States administration bringing many implication to the rest of the world. It seems a mutual connection of United States and the rest of the world because United Statesis lone superpower country with many super foreign policies.

This following essay is not only talking about American foreign policy and the implication throughout the rest of the world but it will talk deeply with the current issue, Iraq War. Moreover the essay will tell about what is relationship between Oil, Bush’s Doctrine, and Americanization of Iraq through the American foreign policy as the length of imperialism of West. Then it will include historical, political, and economic overview to answer the question: Is it true that the motive behind of Iraq War is oil? Then, it will answer again about: Why President Bush makes his doctrine which is known as Bush’s Doctrine to conquer the rest of world based on the tragedy of 9/11 as the tool for conqueringIraq? It will also answer what impact will take from the Americanization of Iraq.

Finally, in the last part it concludes about American foreign policy is not only “war against terrorism” but there are some messages behind of each policy through the rest of the world. Thus it concludes about the implication of Iraq War to Iraqi, American, and people around the world under umbrella of my main topic oil, Bush’s Doctrine, and Americanization of Iraq.

B. DISCUSSION

OIL POWER AND EMPIRE OF UNITED STATES

Oil is the part and the truth of the Iraq War. Oil becomes the most magnificent and important gold in twentieth century. Oil is tremendous thing and the part of important goods in this decade. People who has oil mine will be wealthy man. Then oil will be luxurious commodity for now and future. Since the world is lack of oil and the availability of oil is limited. The lack of oil will make the price of oil is so expensive. This framework makes the beginning of West Capitalism. And then globalization is used for shield the economic imperialism through the third world. They try to build the new empire of capitalism in the new world. But all of motive will empty to neocolonialism of  United Stateswhich is started in the 1950s and the American foreign policy in Iraq is the replacement of neocolonialism of 1950s.

The tragedy of September 11 is made for the reason of George W. Bush, jr. to conquer the third world. Therefore these are the part of new manifest destiny and Monroe Doctrine of United States. In the meantime American foreign policy rose controversy but United States loved controversy. After the World War foreign political willingness of United States has changed, they like to intervene the domestic problem of another country. At the timeIraqwho is ruled by Saddam Hushen has domestic problem and it make theUnited States(Bush) interfering the Iraqi’s problem. Actually the interfering is made for revenge of last Gulf War which is United Stated is defeated by Iraq. In fact the revenge of George W. Bush, jr. for his father George Bush, Sr. is not the main reason because the main reason is economic reason.Iraqis abundant of oil.

In the meantime,Iraq according to U.S. Energy Information of Administration (EIA) was the biggest producer and potential supplier of oil and not for Saudi Arabia., which has 262 billion barrels of oil reserves. The total of Iraqi’s oil reserves is – 332 billion barrels – would equal with one-quarter of total world reserves. The acquisition of oil becomes the main agenda of Bush’s administration and once again the tragedy of 9/11 becomes the shield of Bush’s foreign policy. Anyway the Iraq war becomes the war of oil companies, BP, Shell, and Exxon Mobil against IPC (Iraq Petroleum Company) – which has been nationalized by Saddam Hushen in 1972. It is like the war between Capitalism of Industry – the public companies – fighting for national company which is owned by Saddam Hushen.

Ultimately United Stated has succeeded to invade Iraq. Saddam Hushen was killed and their hegemonic is proven in conquering Iraq. Then, the imperialism begins in the whole of Iraq. After Iraq war many U.S corporate invade Iraq. More than 150United States companies were awarded because of their supporting for Iraq war. They got post-war work of Iraq which total is USD 50 billion. Their duty is reconstructing Iraq. The extreme movement of United States policy is privatization of Iraqi’s oil company. It proves that oil becomes strongest motive of Iraq war. Neocolonialism spreads among Iraq. It proves again that American foreign policy gives many implications to the other country. Capitalism becomes the king of the world. Then, oil is only small trait to get big fish.

BUSH’S DOCTRINE AS THE REPLACEMENT OF MONROE DOCTRINE

                  

The tragedy of 9/11 change American mind. They feel more restricted, suspicious and closed. The foreign political will of United States also change from the previous. The tragic event of September 11 becomes the root of American foreign policy, and it is already known as Bush’s Doctrine. “War against terrorism” becomes the main propaganda. This ideology was reflected by Monroe Doctrine. Jeffersonian, Hamiltonian, Jacksonian, and Wilsonian inspired the Bush’s doctrine. The Bush’s doctrine itself changes theUnited States foreign policy totally.

George W. Bush, jr. formulated his famous doctrine on tragedy of September 11, 2001. Meanwhile, Bush declared war against terrorism, especially War against Moslem or war against Middle East. Bush declared that United States would “make no distinction between terrorist who committed these act and those who harbor them.” Nine days later, he gives landmark speech before a joint session of Congress, Bush reiterated: “We will pursue nations that provide aid or safe haven for terrorism.  Every nation, in every region, now has a decision to make.  Either you are with us, or you are with the terrorists.  From this day forward, any nation that continues to harbor or support terrorism will be regarded by the United States as a hostile regime.”

Bush’s doctrine borrowed the concept of Monroe doctrine which is the main element is United States has unilateral right to interfere the other countries. From the tragedy of 9/11 Bush’s doctrine are manifested into “War against terrorism”, the war against terrorism applied into many way. One of the dangerous ways is fighting against a country which provide place for terrorist. That’s why United States invaded Iraq in 2003 because terrorism became the main reason of invasion.

Actually, Bush’s doctrine is a tool to succeed the big successful of United States administrations which is manifested in American foreign policy. We know that the main message of American foreign policy during the Bush’s era is imperialism of West. Imperialism of West relates with capitalism through the world. At the time Bush wanted to establish the Empire United States. Whereas, economic, politic, and culture should be spread around the world. Once again Bush’s doctrine which is based on the tragedy of 9/11 is manifested from Monroe Doctrine.

AMERICANIZATION OF IRAQ OR PRIVATIZATION OF IRAQ?

During the Iraq war many people dead. More than 90,000 civilian dead caused by this irresponsible war. Then, the reconstruction of Iraq needed much time and much money. It seems war become the commodity of business during war itself until post-war. Then, Americanization of Iraq begins. After the death of Saddam Hushen United States didn’t release the Iraq into themselves to operate their country. United States is still intervene the Iraqi until now. The Americanization of Iraq still relates with economic aspect. Once again the imperialism of capitalism still takes the big role in there.

Many Iraq assets are claimed by United States. Americanization spread among Iraq starting from changing of governance system but the most influential is in economic field. More than 150 U.S companies were awarded contract for post-war totaling more than USD 50 billion. It wasn’t accounted with acquisition of Iraq’s company by United States companies. If we accounted the total of lost was bigger in the Iraq side,United States would take the benefit from its. To conclude the Americanization of Iraq correlates with business oriented by United States corporations to gain big profit during Iraq war until post-war. Americanization of Iraq could be seen as privatization of Iraq. It is a shape economic imperialism of United States to the third world.

C. CONCLUSION

In summary the imperialism of United States emphasize on the imperialism in many ways. The economic, military, and political powers are exceptional. Because of the power of United States are so strong and there is no power could balance the power ofUnited States after the Cold war. Consequently United States becomes the lone and the only greatest power country in the world. The invasion of Iraqis the unilateralism of United States to conquer Iraq. There are many motive which become the background of the invasion, such as economic factors (dominating the Iraq’s oil), political factor (the revenge of Gulf war), until spreading of democracy. President of United States George W. Bush, jr makes the tragedy of 9/11 to invade Iraq with his famous doctrine Bush’s Doctrine. Oil power, Bush’s Doctrine and Americanization of Iraq are the product of American foreign policy which is based on new imperialism and neocolonialism of United States in this decade.

D. REFERENCE

Crow & Trunbull. 1972. American History: A Problems Approach. Holt, Rineheart and Winston, Inc.

Garcia, Rogelio. American Unilateralism and The Doctrine of Preemtion: The Case of Iraq, pp 2-47.

Juhasz, Antonia. 2007. Spoils of War: Oil, the U.S. – Middle East Free Trade Area and the Bush Agenda. Retrived from http://www.gvsu.edu/hauenstein/index.cfm?id=60C9FD45-96F2-D99A-CDA623F92D0B0150 on October 17, 2010.

Tuazon, Bobby. 2004. Oil and Americanization of Middle East. Retrived http://bulatlat.com/news/4-11/4-11-oil.html on October 17, 2010.

Kebenaran itu Mutlak atau Relatif?

Kebenaran merupakan sebuah kata yang sangat erat dengan kehidupan kita sebagai manusia. Namun demikian, sering kita mendengar bahwa kebenaran itu bersifat relatif atau mutlak. Ya, ada yang menyatakan bahwa kebenaran itu relatif. Sebelum kita melangkah lebih jauh, perlu dipahami terlebih dahulu apakah itu relatif dan apakah itu mutlak.

Relatif adalah sesuatu yang memiliki variasi yang lain. Jadi ada suatu hal yang memiliki pembanding. Sedangkan, mutlak itu adalah tunggal dan tiada pembanding. Mutlak itu ada dengan sendirinya.

Dari dua hal yang disebutkan diatas yang mana yang lebih sesuai. Menurut pendapat saya kebenaran itu bersifat mutlak. Kenapa? Apabila kebenaran itu bersifat relatif dan dengan dikaitkan apa itu relatif, maka akan tidak ada kebenaran hakiki, secara mudah A=A`. Sedangkan konsep kebenaran itu adalah A=A, maka kebenaran itu adalah absolute dan mutlak. Contoh yang lain apabila saya menganalogikan bahwa ada seseorang yang bernama Fajar yang berada di masjid, Mustahil, ada Fajar yang ada ditempat lain yang secara wujud dan bentuk yang sama dengan Fajar yang berada di masjid pada saat yang sama. Maka tidak dipungkiri bahwa kebenaran itu mutlak. Filsafat Yunani menyatakan, ERITAS ADAEQUATIO INTELCTIUS ET RHEI artinya kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan.

Selain pengertian diatas bahwa kebenaran itu memiliki 5 kriteria:

  • Kebenaran bersifat universal

Kebenaran itu harus bersifat universal, artinya bahwa berlaku untuk kapanpun dan dimanapun.

  • Kebenaran bersifat mutlak

Apabila tanpa adanya kemutlakan, maka akan terdapat bias dalam kebenaran itu dikarenakan tidak adanya sesuatu yang pasti

  • Kebenaran bersifat manusiawi

Kebenaran akan bernilai kebenaran apabila itu dapat diterima oleh manusia yang lain, baik secara lisan atau tidak.

  • Kebenaran bersifat argumentatif

Argumentasi adalah proses bergeraknya suatu pengetahuan yang menjadi patokan menuju pengetahuan yang baru, artinya bahwa tanpa adanya argumentatif maka akan kesulitan untuk memperoleh kebaran mutlak itu sendiri.

  • Kebenaran bersifat ilmiah

Kebenaran itu bersifat ilmiah artinya bahwa kebenaran itu dapat dibuktikkan oleh orang lain dan itu sesuai dengan kenyataan yang ada.

(Modul LK I HMI, 2011, p. 2)

Maka apabila diambil kesimpulan bahwa kebenaran itu bersifat mutlak dan yang membuat kebenaran itu bervariasi yaitu pemerolehan kebenaran itu. Selain itu kebenaran itu bersifat tunggal.

Edwi Mardiyoko

Aktivis yang sedang mencari kebenara