Tantangan Islam di Era Globalisasi, Informasi, dan Teknologi*

Pendahuluan

Perkembangan manusia di abad 21 sungguh luar biasa pesat. Berbagai macam penemuan yang telah dilakukan oleh masyarakat dunia, mulai dari penemuan budaya, teknologi bahkan perkembangan faham maupun ideologi. Hal ini menjadi sebuah keniscayaan karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang tidak pernah bisa berhenti untuk berkarya. Manusia bisa melakukan hal itu karena manusia diberikan akal sebagai alat untuk memanifestasikan itu semua.

Salah satu hal yang melekat pada diri manusia adalah kebutuhannya akan keberadaan dari suatu Dzat yang Maha Agung, yang pada intinya adalah untuk mendapatkan kedamaian pada diri manusia itu sendiri. Sehingga muncullah agama yang menjawab segala keraguan dan kebimbangan dari manusia itu dari arti sebuah kedamaian. Islam yang secara harfiah berarti ‘keselamatan’ atau ‘kedamaian’ adalah jawaban yang sempurna untuk keraguan dan kebimbangan manusia. Namun demikian seiring perkembangan zaman tantangan umat Islam sungguh berat dalam menghadapi era yang bisa dikatakan era persimpangan, dimana umat Islam seperti dihadapkan pada jalan raya yang besar, yaitu era globalisasi, informasi, dan teknologi. Sehingga memunculkan pertanyaan dalam benak kita semua, apakah umat Islam siap atau tidak untuk menghadapi kerasnya era globalisasi, informasi, dan teknologi ini?

Tantangan Era Globalisasi

Konsep globalisasi pada intinya memiliki arti yaitu hilangnya batas-batas antara budaya, bangsa, maupun negara atau dapat diartikan sebagai borderless. Ada tiga pendekatan yang sangat intensif membahas mengenai globalisasi, yaitu teori kebudayaan, teori ekonomi, dan teori politik. Dari sudut pandang kebudayaan, Antony Giddens dalam bukunya yang berjudul The Consequence of Modernity mendefinisikan globalisasi sebagai berikut: “Globalisasi adalah intensifikasi relasi-relasi sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga apa-apa yang terjadi di suatu lokal tertentu dibentuk oleh kejadian-kejadian yang terjadi bermil-mil jauhnya dan sebaliknya” (Giddens, 1994). Sehingga proses globalisasi itu merupakam buah hasil dari hubungan sosial dari masyarakat dunia yang menghasilkan lemahnya koherensi kultural dari suatu masyarakat. Ini memberikan pengaruh makin mudahnya perpindahan orang, barang, maupun budaya. Dalam keberjalanan prosesnya globalisasi merupakan proses lokalitas budaya kepada budaya lainnya, artinya bahwa proses agitasi budaya sangat terlihat jelas pada proses globalisasi. Argumen lain berpendapat bahwa proses globalisasi adalah proses imperialisasi budaya kepada budaya orang lain. Berpijak pada pendapat Antonio Gramsci, dengan teorinya yang sangat terkenal, teori hegemony, bahwa globalsasi merupakan proses kulturalisasi dari budaya superior kepada budaya inferior. Produk dari kulturalisasi ini adalah Pop Culture (budaya populer), suatu budaya yang lahir atas dasar modernisme dan sangat disenangi oleh seluruh masyarakat dunia. Budaya populer memiliki karakteristik imitatif, instan, dan dapat diproduksi secara masal. Dengan karakteristik tersebut menjadikan budaya populer mendunia. Lalu bagaimana umat Islam menghadapi tantangan era ini?

Secara langsung maupun tidak langsung globalisasi memberikan stigmatisasi dalam budaya Islam, sehingga menimbulkan stereotipe dalam Islam dan kini kita mengenal Islam Modern dan Islam Tradisional lalu Islam Moderat dan Islam Fundamental. Konsekuensinya adalah timbulah perpecahan dalam tubuh umat Islam dalam menghadapi era globalisasi ini, hingga memunculkan dua kutub yaitu, pro-globalisasi dan anti-globalisasi. Namun demikian, umat Islam seharusnya tidak terpecah karena globalisasi merupakan proses yang pasti harus dihadapi oleh umat Islam. Globalisasi yang memiliki pengertian arus orang-orang, barang-barang dan jasa, informasi dan gagasan yang melewati batas-batas negara, bangsa, dan kebudayaan lokal, nasional, atau regional (Azyumardi Azra, 2002), akan menjadi suatu keniscayaan bagi umat Islam. Oleh karena itu untuk menjadi suatu hal yang wajib untuk umat Islam untuk senantiasa produktif. Pengembangan budaya Islam yang seharusnya bersumber pada Al Qur’an harus menjadi metode wajib bagi umat Islam dalam menghadapi globalisasi. Islam pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu banyak filsuf, ilmuwan, maupun praktisi yang hadir mewarnai peradaban masyarakat dunia. Masyarakat pada waktu itu senantiasa konsisten untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui naqli dan kemudian dikembangkan melalui aqli. Artinya masyarakat pada waktu itu konsisten untuk melandaskan Al Qur’an dan Hadis sebagai landasan dasar dalam pengembangan budaya. Sebagai contoh produk budaya itu adalah sabun, ini merupakan produk yang dikembangkan dari aspek filosofis yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadis yaitu thaharah, bersuci. Pada akhirnya sabun merupakan produk budaya Islam yang sekarang digunakan oleh seluruh masyarakat dunia.

Terhadap budaya populer umat Islam seharusnya tidak perlu takut ataupun was-was akan budaya tersebut. Memang secara pengaruh keberadaan budaya populer memiliki dampak yang sangat signifikan bagi aqidah maupun syariah dalam Islam. Dengan senantiasa penekanan pada aspek nilai-nilai keislaman pengaruh budaya populer yang buruk seharusnya dapat ditangkal. Umat Islam seharusnya juga dapat memanfaatkan budaya populer sebagai alat untuk mendakwahkan nilai-nilai Islam dan bukan justru menolak mentah-mentah budaya populer, karena diterima atau tidak bahwa budaya populer adalah bentuk budaya yang sangat diterima oleh masyarakat dunia. Bagaimana menjadikan relasi antara budaya populer dan budaya Islam menjadikan PR besar bagi umat Islam untuk menghubungkannya menjadi suatu hal yang berujung positif. Sehingga memberikan pemahaman bagi masyarakat Islam bahwa globalisasi bukan merupakan mimpi buruk bagi umat Islam. (bersambung dulu ya gan…)

 

 

Didiskusikan dalam diskusi rutin bidang PTK HMI Cab. Surakarta Komisariat Muh. Iqbal pada Kamis, 11 Oktober 2012 Pemateri: Ekanada Shofa, S.Sos., M.Si (Peneliti/Dosen FISIP UNS/Ketua Umum HMI Cab. Surakarta Periode 2008-2010)

Kebenaran itu Mutlak atau Relatif?

Kebenaran merupakan sebuah kata yang sangat erat dengan kehidupan kita sebagai manusia. Namun demikian, sering kita mendengar bahwa kebenaran itu bersifat relatif atau mutlak. Ya, ada yang menyatakan bahwa kebenaran itu relatif. Sebelum kita melangkah lebih jauh, perlu dipahami terlebih dahulu apakah itu relatif dan apakah itu mutlak.

Relatif adalah sesuatu yang memiliki variasi yang lain. Jadi ada suatu hal yang memiliki pembanding. Sedangkan, mutlak itu adalah tunggal dan tiada pembanding. Mutlak itu ada dengan sendirinya.

Dari dua hal yang disebutkan diatas yang mana yang lebih sesuai. Menurut pendapat saya kebenaran itu bersifat mutlak. Kenapa? Apabila kebenaran itu bersifat relatif dan dengan dikaitkan apa itu relatif, maka akan tidak ada kebenaran hakiki, secara mudah A=A`. Sedangkan konsep kebenaran itu adalah A=A, maka kebenaran itu adalah absolute dan mutlak. Contoh yang lain apabila saya menganalogikan bahwa ada seseorang yang bernama Fajar yang berada di masjid, Mustahil, ada Fajar yang ada ditempat lain yang secara wujud dan bentuk yang sama dengan Fajar yang berada di masjid pada saat yang sama. Maka tidak dipungkiri bahwa kebenaran itu mutlak. Filsafat Yunani menyatakan, ERITAS ADAEQUATIO INTELCTIUS ET RHEI artinya kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan.

Selain pengertian diatas bahwa kebenaran itu memiliki 5 kriteria:

  • Kebenaran bersifat universal

Kebenaran itu harus bersifat universal, artinya bahwa berlaku untuk kapanpun dan dimanapun.

  • Kebenaran bersifat mutlak

Apabila tanpa adanya kemutlakan, maka akan terdapat bias dalam kebenaran itu dikarenakan tidak adanya sesuatu yang pasti

  • Kebenaran bersifat manusiawi

Kebenaran akan bernilai kebenaran apabila itu dapat diterima oleh manusia yang lain, baik secara lisan atau tidak.

  • Kebenaran bersifat argumentatif

Argumentasi adalah proses bergeraknya suatu pengetahuan yang menjadi patokan menuju pengetahuan yang baru, artinya bahwa tanpa adanya argumentatif maka akan kesulitan untuk memperoleh kebaran mutlak itu sendiri.

  • Kebenaran bersifat ilmiah

Kebenaran itu bersifat ilmiah artinya bahwa kebenaran itu dapat dibuktikkan oleh orang lain dan itu sesuai dengan kenyataan yang ada.

(Modul LK I HMI, 2011, p. 2)

Maka apabila diambil kesimpulan bahwa kebenaran itu bersifat mutlak dan yang membuat kebenaran itu bervariasi yaitu pemerolehan kebenaran itu. Selain itu kebenaran itu bersifat tunggal.

Edwi Mardiyoko

Aktivis yang sedang mencari kebenara